Rabu, 27 Juni 2012

Sejarah Pamijahan Tasikmalaya





Pengkultusan para wali atau sufi di Indonesia mulai berlangsung secara nyata pada abad XVII mengikuti perkembangan Islam di seluruh Nusantara. Tradisi sejarah Islam Jawa telah memperkenalkan ‘Wali Sanga’ yang dianggap sebagai tokoh-tokoh utama pengembang Islam; salah satu diantaranya Sunan Gunung Jati yang menyebarkan agama Islam di Jawa Barat sejak awal abad XVI. Namun setelah wafatnya Sunan Gunung Jati banyak tokoh lain yang juga memainkan peran yang sama seabad kemudian, dan menjadikan Jawa Barat sebagai basis islamisasi, seperti misalnya Syekh Asnawi dan Syekh Yusuf di Banten serta Syekh Abdul Muhyi di Tasikmalaya yang masing-masing mendirikan tarekat sendiri sesuai dengan disiplin tasawuf yang dianutnya.

Sejauh ini telah banyak studi dilakukan terhadap kehidupan dan ajaran yang dikembangkan para sufi tersebut. Banyak pula studi kasus yang difokuskan pada ketokohan Syekh Abdul Muhyi, seperti yang sudah dilakukan oleh Christomi untuk bahan disertasinya di Australian National University, Canberra (2002), namun hampir seluruh penelitian tersebut dioperasionalkan dengan pendekatan filologis dan antropologis dengan tema utama seputar asal-usul tokoh sufi, karya-karya tasawuf yang dihasilkan, jaringan pesantren serta perkembangan tarekat; bukan hanya di Jawa Barat melainkan juga pengaruhnya sampai ke luar Indonesia.

Pendekatan filolofis yang didukung oleh studi antropologis sudah tentu membatasi diri hanya pada kajian naskah-naskah keagamaan yang pernah dihasilkan suatu aliran terekat dan implikasi sosial budaya bagi para penganut tarekat. Masalah-masalah yang kerap muncul ke permukaan adalah berkenaan dengan aspek praksis seperti masalah keruangan dan material.

Dalam kasus Pamijahan misalnya, kita dihadapkan pada pertanyaan: mengapa desa itu dipilih sebagai pusat pengajaran tarekat Syatariyah oleh Syekh Abdul Muhyi, apakah Desa Pamijahan memiliki potensi-potensi tertentu yang mendukung aktivitas keagamaan tersebut? Demikian pula secara formal, jarang dikaji apakah bentuk aktivitas keagamaan itu akan menghasilkan tindak budaya tertentu. Apabila dibandingkan dengan kiprah Sunan Gunung Jati di Cirebon dan Banten, berkat kegiatan pengislaman yang dipusatkan di kedua tempat itu, kini masih tersisa bentuk-bentuk peradaban yang berupa kompleks makam, keraton, masjid dan berbagai tradisi ritual tradisional yang terasosiasi langsung dengan kegiatan pengajaran Islam di Cirebon dan Banten. Semua itu sekarang mestinya menjadi sumberdaya budaya yang potensial bagi pengembangan kepariwisataan daerah itu.

Oleh karena itu, perbandingan tersebut memberi alasan yang pasti mengapa Pamijahan dari perspektif ini perlu diteliti. Masalah pokoknya berpangkal pada pengungkapan aspek-aspek sosial budaya sebagai implikasi dari berkembangnya tarekat Syatariyah di Pamijahan dan bagaimana pengaruhnya sampai sekarang di Jawa Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar